Penyesalan diujung usia muda
Malam itu, bulan menggantung bulat sempurna di atas langit, memancarkan cahaya perak yang seolah ingin menembus dinding kamar. Namun, di kamar kecil itu, cahaya bulan tak mampu mengusir kegelapan hati Sinta. Jemarinya yang dulu lincah menari di atas buku pelajaran kini sibuk melipat tumpukan baju, rutinitas yang membosankan dan tanpa akhir.
Usianya baru 17 tahun, tapi bahunya sudah memikul beban yang begitu berat. Setahun yang lalu, ia resmi menjadi Nyonya Budi. Pernikahan dini yang awalnya terasa seperti dongeng romantis, kini berubah menjadi penjara tanpa jeruji. Canda tawa di masa SMA, impian menjadi arsitek, dan sore-sore yang dihabiskan di perpustakaan, semua terasa seperti kenangan dari kehidupan lain.
Sinta menghela napas panjang. Di balik punggungnya, Budi, suaminya, sedang menimang putra mereka, Reno, yang berusia 4 bulan. Budi juga masih muda, baru 19 tahun. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini terlihat lelah. Rambutnya acak-acakan, matanya cekung. Budi yang Sinta kenal, yang hobi bermain gitar dan bercita-cita jadi musisi, kini sibuk banting tulang menjadi buruh pabrik.
"Mas... aku capek," gumam Sinta, suaranya nyaris berbisik.
Budi menoleh, pandangannya bertemu dengan Sinta. Ada kesedihan yang mendalam di mata mereka. Kesedihan yang sama, yang tumbuh dari penyesalan yang serupa.
"Kenapa, Sin?" tanya Budi lembut. Ia tahu, pertanyaan itu tidak butuh jawaban.
"Dulu... aku pikir menikah itu seperti di film-film," kata Sinta, matanya berkaca-kaca. "Penuh cinta, tawa, dan kita bisa meraih mimpi bersama."
Budi meletakkan Reno di boks bayi. Bayi mungil itu terlelap dalam tidurnya, damai, tidak tahu betapa beratnya perjuangan orang tuanya. Budi duduk di samping Sinta, menggenggam tangannya. Genggaman itu terasa hangat, namun tidak bisa mengusir dinginnya realita.
"Aku juga, Sin. Aku kangen main gitar sampai pagi," bisik Budi. "Kangen masa-masa saat kita hanya perlu memikirkan PR dan ulangan. Bukan cicilan dan susu bayi."
Air mata Sinta akhirnya tumpah. Ia menangis tersedu-sedu. Budi memeluknya erat. Dalam pelukan itu, mereka berbagi rasa sakit, rasa kehilangan, dan rasa penyesalan. Mereka berdua terperangkap dalam pilihan yang diambil terlalu cepat.
"Aku takut, Mas," kata Sinta di sela isakannya. "Aku takut kita nggak bisa bertahan."
Budi memejamkan mata. Kata-kata itu menusuk hatinya. Tapi Budi tahu, ia tidak boleh menyerah. Ia harus kuat. Demi Sinta, demi Reno, demi masa depan mereka.
"Kita pasti bisa, Sin," kata Budi, suaranya mantap. "Memang berat. Tapi kita nggak sendirian. Ada aku, ada kamu, dan ada Reno."
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, Sinta dan Budi menemukan kekuatan di dalam diri masing-masing. Mereka tahu, jalan di depan masih panjang dan terjal. Tapi mereka memutuskan untuk tidak lagi tenggelam dalam penyesalan. Mereka akan berjuang bersama, merajut kembali mimpi-mimpi yang sempat hilang, satu per satu, demi membangun kehidupan yang lebih baik.
Meskipun pernikahan dini telah merenggut masa muda mereka, mereka berjanji untuk menjadikan penyesalan itu sebagai pelajaran. Bukan untuk diratapi, melainkan untuk menjadi pengingat bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan. Harapan untuk bertahan, untuk mencintai, dan untuk menemukan kebahagiaan sejati dalam perjuangan mereka.(JengLis)