Senja dibalik layar ponsel
Ponsel di genggaman Maya terasa dingin, sama dinginnya dengan hatinya. Layar yang dulu menjadi jendela dunianya, tempat ia mencari tawa, gombalan cinta, dan hiburan semu, kini hanya memantulkan bayangan wajahnya yang lelah dan penuh sesal. Senja baru saja luruh, menyisakan semburat jingga terakhir yang perlahan ditelan kegelapan malam. Seperti itulah hidup Maya sekarang, perlahan ditelan kegelapan penyesalan.
Dulu, ia adalah ratu di dunianya sendiri. Follower berjibun, notifikasi tak henti-henti berbunyi, dan pujian dari para "pengagum" virtual membuat kepalanya terbang. Sekolah? Ah, itu membosankan. Belajar? Buang-buang waktu saja. Ada banyak hal yang lebih menarik di balik layar ponselnya. Termasuk, cinta monyet dengan seorang pria yang ia kenal dari media sosial.
Cinta monyet itu, yang dulu terasa begitu nyata dan menggebu, kini menjadi duri yang menusuk ulu hati. Hubungan terlarang itu berujung pada sebuah takdir yang mengubah segalanya. Maya hamil. Di usia 16 tahun, saat teman-temannya sibuk memikirkan nilai ujian dan universitas impian, Maya harus menghadapi kenyataan pahit: ia akan menjadi seorang ibu.
Keluarga terkejut, marah, dan kecewa. Ayahnya yang pendiam akhirnya membentaknya. Ibunya menangis setiap malam. Akhirnya, dengan berat hati, keluarga memutuskan untuk "menyembunyikan" Maya di sebuah kota kecil, jauh dari gosip dan cibiran tetangga.
Kini, di kamar kontrakan yang sunyi, Maya menatap langit-langit. Putranya, Bima, yang baru berusia dua tahun, terlelap di sampingnya. Wajah polos Bima, yang mirip dengan dirinya, adalah satu-satunya pelipur lara, sekaligus pengingat atas kesalahan terbesar dalam hidupnya.
"Maafkan Ibu, Nak," bisik Maya, suaranya tercekat.
Ia merindukan rumah. Merindukan masakan ibunya. Merindukan tawa renyah adik-adiknya. Bahkan, ia merindukan bangku sekolah, tempat ia dulu sering mengeluh bosan. Kini, kesempatan untuk belajar, untuk meraih impian, terasa begitu jauh dan tak terjangkau.
Ponselnya kembali bergetar. Sebuah notifikasi dari grup WhatsApp teman-teman lamanya. Mereka membicarakan persiapan ujian masuk universitas. Ada yang bersemangat ingin masuk kedokteran, ada yang bercita-cita jadi desainer, ada pula yang sudah diterima di kampus impian. Maya hanya bisa membaca, hatinya perih.
Penyesalan itu kini menjadi cambuk, memaksanya untuk terus bergerak. Ia harus kuat, demi Bima. Ia harus mencari pekerjaan, mengumpulkan uang, dan suatu hari nanti, ia ingin Bima bangga padanya. Mungkin, ia bisa mengambil paket C, melanjutkan pendidikan yang dulu ia abaikan.
Malam semakin larut. Cahaya bulan menembus jendela, membentuk pola-pola aneh di lantai. Maya memejamkan mata. Luka masa lalu memang akan selalu membekas. Tapi ia berharap, pagi nanti, saat matahari terbit, akan ada secercah harapan baru yang menemaninya. Harapan untuk memperbaiki diri, untuk menebus kesalahan, dan untuk membangun masa depan yang lebih cerah, walau harus dimulai dari puing-puing penyesalan.
Waktu terus berjalan. Dan penyesalan, kini telah menjadi guru yang paling kejam, sekaligus yang paling bijaksana.