BATAS TAK TERUCAP

Jakarta, kota yang tak pernah tidur, menjadi saksi bisu perjalanan Sarah. Seorang gadis sederhana dari desa yang merantau demi mengejar gelar sarjana. Dengan tekad baja, ia menata setiap detik hidupnya. Targetnya jelas: lulus cepat, nilai sempurna, dan kembali ke kampung halaman membawa bangga. Komitmennya kuat, tak ada ruang untuk hal-hal yang mengalihkan fokus, termasuk urusan hati.
Namun, hidup punya caranya sendiri. Di tengah perjuangan akademisnya, Sarah menemui sebuah kendala yang mengharuskannya sering berinteraksi dengan Andre. Andre, asisten dosen yang super cerdas, disiplin, dan rendah hati. Pertemuan pertama, kedua, dan seterusnya mengalir begitu saja. Awalnya, semua terasa wajar, sebatas hubungan profesional antara mahasiswa dan asisten dosen.
Namun, pepatah Jawa "witing tresno jalaran soko kulino" (cinta datang karena terbiasa) seolah menjadi kenyataan bagi mereka. Intensitas komunikasi dan seringnya waktu yang dihabiskan bersama menumbuhkan rasa yang tak terduga. Ketika sehari tak bertemu, ada rasa aneh yang mengisi ruang kosong, sebuah rasa rindu yang tak bisa dijelaskan. Bagi Sarah, Andre memberikan rasa nyaman dan aman yang ia rindukan, jauh dari keluarga. Sementara bagi Andre, kehadiran Sarah memberinya kebahagiaan, seolah impian masa kecilnya memiliki adik perempuan terwujud.
Meski begitu dekat, tak ada satu pun di antara mereka yang berani melangkah lebih jauh. Mereka sama-sama tahu, ada tembok raksasa yang membentang kokoh di antara mereka: perbedaan keyakinan. Sarah, seorang Muslimah yang taat, berasal dari keluarga yang sangat berpengaruh di kampungnya. Andre, seorang Katolik taat, lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang religius. Mereka sadar, menembus tembok itu bukan hanya akan menghancurkan urusan dunia, tapi juga akhirat.
Hubungan mereka mengalir alami, tanpa status pacaran, namun begitu manis indah dan dalam. Tak ada yang berlebihan, tidak kurang, dan tidak melampaui batas norma sosial maupun agama. Perasaan mereka begitu tulus, membekas, dan nyata. Hingga akhirnya, perpisahan tak terhindarkan. Sarah harus kembali ke kampung halamannya, membawa ijazah dan mengejar cita-cita menjadi ASN dan membuat bangga kedua orang tuanya. Andre juga demikian ia kembali pada jalan hidupnya. Mereka berpisah bukan karena benci, melainkan karena cita cita..
Tujuh tahun berlalu. Sarah, meski banyak pria yang mendekat, tak pernah bisa membuka hatinya. Hatinya telah terkunci oleh Andre. Andre pun demikian. Ia tak berani mencintai wanita lain, karena ia tahu hatinya telah dibawa pergi oleh Sarah dan Jika ia menikah, ia takut itu hanya akan menjadi hubungan palsu.
Dalam hati masing-masing, mereka berbisik, "Sampai kapan ini akan berakhir? Apakah cinta kami akan berlabuh?" Mereka masih saling menyayangi, terpisah jarak, namun bersatu dalam doa. Sebuah harapan tak berujung, menunggu keajaiban yang entah kapan akan datang. (Jeng Lis)