Pulang Kampung
Pulang Kampung
Rabu, 30 November 2022
Hari ini aku kembali ke kota asalku kota Bima. Setelah 3 tahun merantau jadi TKI di Singapura. Kalau dulu aku berangkat sendiri, sekarang aku pulang berdua. Yup, aku pulang berdua dengan istriku. Istri yang aku nikahi tiga bulan lalu di Singapura. Pernikahan yang dilaksanakan secara sederhana ini hanya dihadiri rekan-rekan sesama TKI dan TKW. Saat menikah dulu, keluargaku tak bisa menghadiri. Selain masalah jarak yang jauh tentu juga masalah biaya.
Agar istriku tak kaget, aku sudah menceritakan semua tentang kota kecilku. Kota yang dijuluki punya dua matahari. Tentu ini berbeda dengan Malang yang dingin, kota asal istriku.
"Mas, ternyata benar ya seperti cerita mas. Baru saja sampai adek sudah merasakan panasnya". Ucap istriku saat kami keluar dari Bandara siang itu.
"Tenang dek, nanti juga adek akan melihat pengendara motor di sini tak memakai helm dan lampu merah hanya dianggap hiasan". Jawabku.
Saat kami melewati pasar Amahami, aku kaget. Kok bisa ya, pasar ini bersih dan kelihatannya semua tertata rapi begitu. Bahkan sampah yang biasa terlihat di sebelah selatan itu tak terlihat. Padahal dulu kan bersihnya hanya saat rombongan Presiden datang. Presiden mau datang lagi?
"Pasarnya rapi ya mas". Ucap istriku.
"Iya dek". jawabku. Padahal dalam hati merasa heran.
Saat sampai di Lampu merah, aku juga kaget. Biasanya siang begini ada sedikit kemacetan karna parkiran kendaraan besar seperti truk dan pick up yang tidak teratur. Tapi sekarang kendaraan itu berjejer rapi. Bahkan pengendara motor di samping kami ini semua mengantri dengan tertib. Tak ada yang melanggar. Bahkan semua memakai helm, pun dengan penumpang yang diboncengnya. Motornya juga lengkap. Semua punya spion.Bahkan tak ada juga yang memakai knalpot racing. Biasanya pengendara usia anak-anak juga sering ugal-ugalan. Tapi, hingga kami melewati pasar senggol pun tak terlihat pengendara anak-anak. Jangan-jangan lagi ada razia ini.
Tapi sampai kami melewati pasar senggol, tak kami temukan Aparat Kepolisian yang melakukan razia.
Kami berhenti sebentar di sebuah Kios untuk membeli minuman dingin.
"Pak, kunci motornya ketinggalan pak". Panggilku pada seorang bapak yang tergesa-gesa masuk ke sebuah Kios.
"Hati-hati pak, meleng sedikit motor bapak bisa hilang". Tambahku.
Bapak itu menunjukan ekspresi kaget. Lalu bertanya.
"Anda, baru datang ke sini ya dek?"
Tanyanya.
"Di sini aman dek". Tambahnya.
"Oh ya?" Gumanku.
Iya juga ya, beberapa motor yang terpakir rata-rata kunci motornya masih tertancap di motornya. Artinya mereka memang sengaja nggak mencabutnya, bukan karna kelupaan.
Tunggu dulu.
"Seaman inikah Bimaku? tanyaku dalam hati.
Benar-benar perubahan yang drastis menurutku. 3 tahun yang lalu saat aku masih tinggal di sini, ketinggalan kunci motor di sini adalah kesialan. Lebih sial dari jatuh dari motor. Dari 10 kasus ketinggalan kunci motor di area publik seperti ini, 9 diantaranya berujung kehilangan motor.
Kotaku benar-benar berubah. Di kiri dan kanan jalan yang biasanya cukup banyak sampah, sekarang sudah bersih dan rapi. Aku senang sekaligus penasaran. Apa kira-kira yang membuat kota kecilku berubah seperti ini.
Perjalanan kami berlanjut. Iseng aku bertanya pada sopir grab yang membawa kami.
"Pak, sejak kapan kota Bima berubah begini?" Tanyaku penasaran.
"Sejak dua tahun lalu pak". Ucapnya.
Lalu dia bercerita, bahwa di Kantor-kantor Pemerintahan pun akan dilayani seperti di Bank-Bank. Kita akan dilayani dengan sangat ramah. Begitupun juga masyarakat, tak ada lagi yang antri dengan berdesak-desakkan. Semua seolah sudah mengerti. Yang terlambat tidak akan mendahului yang cepat. Dulu antri sembako saat pasar murah, mereka akan berdesak-desakkan tapi sekarang benar-benar luar biasa. Bahkan sungai-sungai yang dulu kotor dan kumuh sekarang disulap menjadi bersih dan jernih. Tidak hanya itu, di sungai kita bisa melihat banyaknya ikan-ikan yang memang dibudidayakan warga sekitar. Betapa warga akan dianggap tabu apabila membuang sampah di sungai. Di sepanjang jalan juga sudah ada CCTV dan lampu jalan. Tidak hanya di jalan-jalan utama tapi jalan-jalan yang dulu terabaikan seperti di jalur Soncotengge sampai Panggi, bahkan jalur Oi Fo'o Nitu pun sudah terang di malam harinya.
"Bapak lihat gunung itu?". Ucapnya sambil menunjuk pegunungan di jatiwangi dan jatibaru saat kami berhenti di Lampu merah cabang Santi.
"Dulu gundul karna masyarakat beralih menjadi petani jagung, tapi sekarang sudah nampak hijau kan?". Tanyanya.
"Itu yang nampak hijau adalah pohon buah-buahan. Ada mangga, rambutan, jambu, srikaya, sirsak dan lain-lain. Selain menjaga erosi tanah, menghindari banjir, juga buahnya bisa dipanen dan dijual. Hasilnya ternyata lebih besar dari bertani jagung yang hanya sekali setahun dan harganya kadang-kadang dipermainkan tengkulak. Dan ini tidak hanya di gunung di sana saja, tapi hampir di semua gunung di wilayah Kota Bima". Tambahnya.
"Wah keren ya, Bimaku ternyata sudah semaju ini ya. Bahkan ini sih sudah melebihi Singapura". Ucapku kagum.
Saya penasaran, apa yg menyebabkan perubahan ini. Saya yakin, pasti ada alasan kuat dibalik perubahan ini.
"Kira-kira apa atau siapa yang membuat perubahan ini pak? Tanyaku ingin tahu pada si sopir.
"Bangun mas, bangun". Ucap istriku.
"Nanti kita terlambat! Ayo bergegaslah, nanti kita ketinggalan pesawat". Tambah istriku.
"Emang kita mau kemana dek?" Tanyaku bingung.
"Kan kita mau pulang ke Indonesia, lalu ke Kampung halaman mas di Kota Bima. Masa mas lupa, kan kita udah persiapan dari kemarin". Ucap istriku.
Akupun melongo kebingungan.