Kisah Martin
Angin laut membelai wajahnya. Sesekali rambutnya yang keriting bergoyang-goyang tertiup angin. Martin duduk merenung di kursi geladak. Kapal feri yang ia naiki cukup kokoh. Sudah satu jam kapal feri ini bertolak dari pelabuhan kayangan menuju pelabuhan pototano. Itu artinya sebentar lagi akan sampai. Ia semakin gelisah. Ia menghisap dalam-dalam rokoknya. Ia merenungi nasibnya yang sudah sejauh ini.
Minggu lalu ia mengirim surat untuk istrinya. Mengabarkan kebebasannya. Memohon maaf atas semua kesalahannya. Sekaligus berjanji akan menjadi suami dan ayah yang baik untuk kedua putrinya. Ia ingin memperbaiki waktu-waktu yang telah lewat. Ia berjanji dalam hatinya untuk mencurahkan waktu dan kasih sayangnya untuk keluarganya. Jika istrinya mau menerimanya kembali, ia berharap mereka menunggunya di Terminal Dara. Tapi jika tidak, dia akan langsung pulang ke kampung halamannya di Maumere. Dia pun mengerti kalau istri dan anaknya tak mau menerimanya lagi. Dia ikhlas. Dia lalu merenungi kisahnya beberapa tahun yang lalu.
"Punya apa kau mau melamar anakku? Tanya calon mertuanya.
"Sadar dirilah sedikit, anakku sudah punya pekerjaan yang mapan, sedangkan kau? Ucap calon mertuanya berlalu meninggalkannya.
Lamarannya ditolak, padahal dia dan Resti saling mencintai. Dia maklum kenapa orang tua Resti tidak menerimanya. Dia berasal dari daerah seberang. Pun dia seorang mualaf. Resti cantik dan punya pekerjaan yang mantap. Sedangkan dia, saat itu dia hanya karyawan biasa dengan gaji pas-pasan. Tapi mereka berdua saling mencintai.
Mereka akhirnya memutuskan untuk menikah walaupun tanpa restu orang tua Resti. Resti berkorban untuknya, ia rela dikucilkan keluarganya demi dirinya. Awalnya kehidupan mereka cukup bahagia, dikaruniai dua putri yang cantik. Masalah mulai muncul saat Martin kehilangan pekerjaannya. Ia stres. Lalu mulai mabuk-mabukan. Ia sering pulang malam. Saat ia ditanya darimana, maka ia akan memukul istrinya. Hampir setiap hari mereka bertengkar. Diam-diam ia mengambil perhiasan istrinya. Lalu ia gunakan untuk berjudi. Saat istrinya tahu, pertengkaran besar pun tak terelakkan. Puncaknya ia memukul istrinya di depan kedua putrinya.
Martin diam-diam menjual rumah mereka. Sebenarnya bukan rumah mereka, tapi rumah istrinya. Dengan modal itu, dia diam-diam kabur ke pulau Lombok. Dia mendirikan berbagai usaha. Karna dia orangnya ulet, dalam waktu yang tidak terlalu lama ia sukses. Meski sukses ia tidak menghubungi istrinya. Merasa punya banyak uang, ia berfoya-foya. Bersama teman-temannya. Main perempuan dan mabuk-mabukan. Lama-lama ia terjerat narkoba. Ia jadi pecandu. Usaha-usahanya kemudian mengalami kemunduran. Lalu bangkrut.
Pada suatu waktu ia ditangkap polisi. Dia dijatuhi hukuman selama 6 tahun. Di penjara tak ada satupun teman-temannya yang menengok. Padahal banyak uang ia habiskan untuk teman-temannya. Di titik inilah ia sadar. Ia menyesal. Ia mulai memperbaiki dirinya. Ia rindu dengan keluarganya. Ia ragu, akankah istri dan anak-anaknya menerimanya kembali?
Kapal Feri sudah merapat ke Pelabuhan. Dengan enggan ia turun untuk menaiki busnya. Bus melaju dengan cepat. Tak terasa bis sudah sampai di Panda. Lima belas menit lagi bus akan sampai di Terminal. Ia terlihat murung. Ia takut dengan kenyataan pahit yang akan ia terima. Penumpang bus pun bertanya-tanya. Akhirnya dengan jujur ia ceritakan semuanya. Penumpang bus memberinya semangat.
Satu-persatu penumpang turun dari bus. Ia menengok dari jendela, tapi tak ia temukan istrinya. Dengan ragu ia turun dari bus. Mencari istrinya. Tapi tak ia temukan. Ia pasrah. Ia menerima kalau istrinya tak menerimanya lagi. Ia putuskan untuk kembali menaiki bis. Saat ia menginjak tangga, sayup-sayup ia mendengar panggilan.
"Ayah... Ayah...
Ia berbalik, ia melihat kedua putrinya yang sudah remaja memanggilnya. Juga istrinya. Mereka datang menghampirinya. Memeluknya. Mereka semua menangis dalam pelukan. Para penumpang yang lain pun bertepuk tangan. Ada juga yang menangis terharu.
Dia lelaki yang tak pandai bersyukur, lelaki bergelimang dosa. Lelaki yang menyia-nyiakan keluarganya tapi balasan yang diterimanya bukanlah makian dan hinaan. Ia diterima dengan cinta. Cinta yang begitu murni dari istri danJuga anak-anaknya.