Mantra sang juara
“Sudah ya, Ma,” Caki menyingkirkan susunya yang masih tersisa setengah.
Mama yang sedang mengoleskan mentega ke roti memandangnya heran. “Tadi rotinya enggak habis. Sekarang susunya.” Keluh Mama.
Caki memaksakan senyum, “Perutku sudah enggak muat lagi, nih, Ma.”
Mama menghela napas maklum. Dia tahu, Caki hari ini akan ulangan matematika. Caki jika mau ulangan selalu begitu. Nafsu makannya mendadak seperti hilang. Untungnya setelah ulangan, nafsu makan anak tunggalnya itu akan kembali seperti biasa.
“Ya, sudah. Nih, bawa roti buat bekal saja, ya. Nanti habis ulangan, kamu bisa makan.” Bujuk Mama.
Caki mengangguk lemah. Pikirannya benar-benar sudah tersita ke ulangan nanti.
“Kamu kan sudah belajar semalam,” Celetuk Kak Wirya di hadapannya.
Mama tersenyum maklum sambil mengangkat bahu “Caki gitu, lho. Dia memang selalu begitu kalau mau ulangan.”
Caki mengangguk membenarkan. “Iya, aku sudah berusaha. Tapi rasanya, kok, susah jadi juara kelas, ya.”
“Kamu sudah bagus Loh, Ki. Sudah lima besar. Kan, sudah lumayan. Iya, enggak?” Mama mengingatkan.
“Betul Ki.” Sahut Kak Wirya mengiyakan.
Kak Wirya adalah sepupu Caki dari Bandung. Ia baru saja datang semalam. Kabarnya sih, sepupunya ini baru saja dapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Nah, sebelum berangkat, ia mau sekalian pamit dulu kepada Mama dan Papa Caki.
“Waktu SD, Kakak malah enggak masuk sepuluh besar di kelas,” lanjut Kak Wirya. “Tapi setelah Kakak punya mantra ajaib, baru deh…”
“Hah… mantra ajaib? Mau dong, Kak!”
Kak Wirya tersenyum. “Nanti siang ya. Kamu sekarang kan, harus ke sekolah.”
“Tapi kan, aku butuhnya sekarang, Kak.” Kata Caki tak sabar.
Mama dan Kak Wirya tersenyum melihat tingkah Caki.
“Nah, sekarang ilmu pembukanya dulu. Sebelum ulangan Tarik napas. Tenang. Katakan aku bisa. Jangan lupa berdoa. Itu dulu, deh.” Urai Kak Wirya.
Caki mendengarkan baik-baik perkataan sepupunya itu. Dia menarik napas panjang dan tersenyum.
Ting… tong…
“Nah, itu, Om Agus sudah datang,” Mama mengingatkan.
“Sampai nanti, ya Kak!” Caki melambaikan tangan sambil berlari kecil menuju mobil jemputannya.
***
Pulang sekolah, Caki memeriksa kamar tidur tamu di lantai atas. Kosong. Sepertinya Kak Wirya belum pulang.
“Ya, gimana dong. Padahal aku mau menagih janji mantra Kak Wirya.” Gumamnya. Dia ingat, dua hari lagi dia ada ulangan IPA.
Akhirnya, Caki duduk saja di meja belajarnya. Dia berusaha konsentrasi, tapi rasanya masih banyak hal yang belum bisa dihafalnya dengan baik.
“Sim salabim. Alakazam.”
Caki gelagapan. Dicarinya sumber suara tadi. Loh, kenapa Kak Wirya sudah berpakaian seperti Aladin gitu?
“Nah, minum!” Kak Wirya menyodorkan segelas air. Warnanya kelabu, keruh, seperti air hujan. Tapi yang ini lebih kental.
“Apa ini Kak?” Caki mengernyit muka menerima gelas itu. Didekatinya ke hidung, huek… baunya nggak enak. Dia pun spontan menjauhkannya dari hidung.
“Ayo,” desak Kak Wirya.
“Huk, huk…” belum juga air terminum, Caki terbatuk. Gelagapan mencari udara segar!
Caki masih terus terbatuk. Kak Wirya membantu menenangkannya. Tapi… ah sepertinya aku tadi bermimpi, bisik Caki dalam hati.
Dia memperhatikan sepupunya itu. Tak ada lagi baju Aladin, seperti yang dikenakannya tadi.
Cukup lama Caki terbatuk, sebelum akhirnya bisa menenangkan diri. Sepertinya tadi ia tertidur sampai dia jadi terbatuk,
“Bagaimana?” tegur Kak Wirya.
Caki tersipu malu. “Ayo, Kak. Katanya mau mengajarkan aku mantra.” Caki mengalihkan perhatian.
“Oke, mana yang mau kamu hafalkan?” Kak Wirya membalik buku di hadapan Caki. “Sains memang banyak hafalannya, ya?”
“IPS juga Kak. Bahasa apalagi. Ah, semuanya deh. Mungkin Cuma matematika yang tidak. Eh… tapi enggak juga, sih. Menghafal satuan, aku juga masih sering tertukar.” Serentetan kalimat berhamburan keluar dari mulut Caki.
Kak Wirya tersenyum menanggapi.
“Ini nih, Kak.” Caki menunjuk halaman buku yang akan dihafalnya. “Aku dari tadi nggak bisa menghafal alat-alat ekskresi pada manusia.”
Caki memang merasa kesulitan. Ada saja hafalan yang tertinggal. Paling sering yang ketinggalan itu hati. Menurutnya, mengingat paru-paru, ginjal, dan kulit lebih mudah karena bisa dibayangkan sehari-hari.
“Pahaku gatal.” Terdengar suara lirik Kak Wirya.
Spontan, Caki melihat ke kaki Kak Wirya. Katanya gatal, tapi kok, tidak digaruk. Dia hanya memperhatikan buku yang dibuka Caki. Tak terlihat kalau pahanya memang gatal.
“Apa Kak?” tanya Caki bingung.
“Pahaku gatal,” jawab Kak Wirya singkat.
“Digaruk dong, Kak. Mungkin tadi digigit nyamuk. Tapi memakai celana setebal itu, kok, masih bisa digigit nyamuk ya?” Caki heran melihat celana jin tebal yang digunakan Kak Wirya.
Kak Wirya menoleh menatap Caki. Sepertinya, dia kebingungan mendengar ucapan Caki. Tangannya menunjuk ke halaman buku yang terbuka.
“Ini lho, PAru-paru, HAti, KUlit, dan GinjAL bisa disingkat jadi PAHAKU GATAL.” Urai Kak Wirya.
Awalnya Caki tak mengerti. Untunglah kakak sepupunya itu mengulanginya sekali lagi. Ternyata membuat singkatan dari beberapa hal yang harus dihafal bisa memudahkan.
“Oh, jadi itu mantranya!” seru Caki senang. Dia kini mengerti apa yang dimaksud dengan mantra ajaib oleh Kak Wirya.
Kak Wirya lalu asyik memberikan contoh-contoh mantra ajaib lainnya. Ada mantra MEVE BUMAJU SAUNEP untuk urutan planet. Ada juga mantra MEJIKU HIBINIU untuk warna-warna Pelangi.
Ternyata, setiap orang bisa menciptakan mantranya sendiri-sendiri. Tidak harus sama dengan orang lain. Yang penting, mengerti dan bisa memudahkan untuk menghafal dengan baik. Cara ini juga dikenal sebagai jembatan keledai.
“Memangnya mana keledainya, Kak?” celetuk Caki.
“Entahlah. Tapi, yang penting cara ini bisa membantu kita menghafal apa pun dengan mudah.”
“Asyik. Aku mau ah, bikin mantra yang banyak. Supaya aku bisa menjadi juara kelas.” seru Caki senang.