Persahabatan bunga matahari
Semua teman di kelas tahu aku dan Vina bersahabat karib. Mereka bilang, di mana ada Rani, di situ ada Vina. Namun ada satu perbedaan besar antara aku dan Vina. Aku dari keluarga sederhana, Vina hidup berkecukupan.
Untunglah, meski orang tuanya kaya, Vina tidak sombong. Vina bahkan betah main di rumahku yang sederhana. Selain bermain bersama, ada satu hal yang membuat Vina senang di rumahku. Ia sangat menyukai bunga matahari yang tumbuh di halaman belakang rumahku. Sudah beberapa kali Vina mencoba menanam bunga matahari di rumahnya, tetapi selalu gagal.
Persahabatanku dengan Vina sungguh menyenangkan. Akan tetapi, aku merasa akan ada masalah besar bagi persahabatan kami. Semua berawal dari rencana Vina untuk merayakan ulang tahunnya.
Tia berbisik akan memberikan kado boneka Barbie model terbaru. Caca akan memberi hadiah sepatu berlukis yang sedang trend. Sementara aku, sahabat terdekatnya, bingung akan memberikan hadiah apa.
Sore itu, Mbak Ambar heran melihat uang berserakan di dekat pecahan celengan kelinciku. “Loh, kok tabunganmu diambil? Mau beli apa?” tanyanya.
“Mbak, kalau seratus ribu, bisa untuk beli tas bagus, enggak?” tanyaku.
Mbak Ambar meraih tas sekolahku dan memeriksanya.
“Mungkin bisa, tapi tas ini masih bisa dipakai. Tidak ada yang rusak, tuh.” Kata kakakku sambil meletakkan tas itu.
Tidak ada yang rusak. Itulah kebiasaan di keluargaku. Kami hanya membeli barang baru kalau barang lama sudah betul-betul rusak atau hilang.
Pulang sekolah, aku mampir ke toko peralatan sekolah. Di rak tampak berjajar tas berhias kepala boneka. Juga ada buku tulis dengan kertas aneka warna, kotak pensil, rautan, penghapus, dan penggaris. Semuanya lucu dan menarik.
Aku memeriksa harga yang ditempel di sebuah tas yang sangat bagus. Uangku cukup, pikirku lega. Akan tetapi, tiba-tiba aku teringat pada tas baru yang belum sampai sebulan dipakai Vina. Tas itu jauh lebih bagus dari tas yang akan kubeli ini. Aku jadi ragu dan membatalkan niatku membeli tas itu.
Sampai di rumah, Mbak Ambar tampak sedang bergegas memasukkan beberapa barang ke dalam tas. “Nenek sakit. Mbak akan mengantar tas ini ke stasiun. Kamu jaga rumah ya.”
Keesokan paginya, Vina mengingatkan kami semua agar tidak lupa datang ke rumahnya sore nanti. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa ikut pesta tanpa kado. Saking bingungnya, tanpa sengaja aku mengeluh pelan dengan dahi berkerut.
Vina menoleh, “Kamu sakit ya?” tanyanya cemas.
Ini memberiku ide. Aku mengangguk sambil menampilkan wajah orang sakit perut. Vina segera mengantarku ke UKS. Baru kali ini aku berbohong kepadanya. Aku betul-betul merasa bersalah, tetapi aku tak punya alasan lain untuk tidak datang ke pestanya.
***
Jam di ruang tengah berdentang. Saat ini tepat pukul 5 sore. Pasti teman-teman sedang bertepuk tangan, menyambut Vina meniup lilin berbentuk angka 10.
“Maafkan aku, Vina. Aku tak punya kado untukmu.” Bisikku sambil mengusap-usap bunga matahari.
Langkah kaki Mbak Ambar mengagetkanku,” Ran, bantu Mbak memindahkan tanaman di pot-pot ini ya,” ujarnya sambil mengeluarkan pot-pot kecil dan 2 keranjang rotan.
“Aku mau memberi hadiah untuk Bu Ning, guru les matematikaku.”
“Aneh, hadiah kok tanaman. Memang pantas?” tanyaku.
“Loh, kenapa tidak? Bu Ning suka bunga. Bunga potong, kan, cepat layu. Ini lebih awet.”
Terlihat dua pot yang tersisa aku tanami pohon bunga matahari kecil. Kedua pot itu aku susun di keranjang rotan, lalu ku bungkus plastik dan ku hiasi dengan pita besar. Mirip parsel. Besok aku bisa mengantar kado ini ke rumah Vina, pikirku.
Esok paginya, aku sudah meletakkan keranjang rotan itu di atas sepedaku. Tiba-tiba mobil Vina berhenti di depan rumahku.
“Hei, kau sudah sembuh? Aku khawatir sakitmu parah.” Seru Vina sambil turun dari mobil.
Aku tersenyum, “Aku baru mau mengantar kado ini. Belum terlambat, kan?”
Vina menjerit kegirangan. Digendongnya keranjang berpita itu. “Wah, kok tau, sih, kalau aku ingin bunga matahari?”
Aku senang melihat sahabatku kegirangan. Apalagi melihatnya begitu rajin merawat kedua pohon itu. Anehnya keduanya lalu tumbuh subur dan berbunga. Bahkan ketika akhirnya Vina pindah ke kota lain, ia membawa biji-biji bunga itu untuk ditanam di rumahnya yang baru.
Suatu hari, bunyi sepeda motor menderu di depan rumah. Pak Pos menyerahkan sebuah paket untukku. Tak sabar aku buka. Sebuah lukisan dan selembar kartu.
Aku bukan tukang kebun yang pintar. Karena itu, aku khawatir jangan-jangan bunga matahari hadiahmu akan mati. Agar abadi, aku coba melukisnya. Lukisan tidak akan mati, meskipun cuaca dan musim berganti. Begitu pula persahabatan kita. Takkan putus meskipun tahun-tahun berlalu dan mengantarkan kita menjadi dewasa.
Mataku berkaca-kaca. Ah Vina.