Surat bu guru

Merah padam wajah Iin ketika melihat Reza merobek-robek surat itu di hadapannya. Ingin rasanya ia menampar anak itu. Tapi dia tak punya keberanian. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya. Berlari ke luar tanpa mengucapkan apa-apa. Ia kesal. Ia marah. Tapi kepada siapa?

Tadi pagi ketika Bu Guru mengabsen, beliau mengeluh. “Lagi-lagi Reza tidak masuk. Ini sudah hari kedua. Siapa yang tahu ke mana dia?” tanyanya.

Tak seorang pun menjawab.

“Siapa yang tinggal dekat dengan rumah Reza?” tanya Bu Guru lagi.

“Iin, Bu!” sahut Meta.

“Kalau begitu sepulang sekolah nanti mampir ke kantor. Ibu mau menitipkan surat untuk orang tua Reza,” kata Bu Guru kepada Iin.

Iin tidak berani menolak, meskipun sebenarnya ia enggan melakukan tugas itu. Rumahnya memang berdekatan dengan rumah Reza. Bahkan persis berada di belakangnya.

Untuk menuju rumahnya, Iin harus melalui gang yang terletak di sebelah kiri rumah Reza. Jadi setiap pergi dan pulang sekolah, ia selalu melewati rumah Gedung yang bagus itu. Hanya saja gerbang masuk rumah Reza berada di sisi jalan yang lain. Iin perlu memutari jalan itu untuk ke rumah Reza.

Akan tetapi, bukan itu alasannya tak pernah mampir ke sana. Iin merasa agak segan pada anak itu. Reza juga selalu bersikap acuh tak acuh bila Iin lewat di samping rumahnya.

“Sudah disampaikan suratnya?” tanya Bu Guru keesokan harinya.

Iin mengangguk. Tak berani ia menceritakan hal yang sebenarnya.

“Tapi mengapa Reza belum juga masuk sekolah?” tanya Bu Guru lagi. “Apa dia sakit?”

Iin menggeleng.

“Kalau begitu, tolong berikan surat Bu Guru kepada orang tuanya sepulang sekolah nanti. Mungkin surat yang kemarin belum sempat mereka baca.” Kata Bu Guru.

Iin mengeluh dalam hati. Lagi-lagi dia tidak punya keberanian untuk menolak. Kini pun kakinya gemetaran saat dia melangkah memasuki halaman rumah Gedung yang bagus itu.

“Surat lagi?” tegur Reza yang sedang asyik bermain dengan anjingnya. “Sini biar ku robek.”

Sesaat Iin kaget mendengar sambutan Reza. Ia tersinggung. Rasa marahnya timbul sehingga lupa pada ketidakberaniannya.

“Sombong!” katanya geram.

Dilemparnya surat Bu Guru ke kaki Reza. “Tuh! Robek-robek sepuasmu. Agar besok aku lagi yang disuruh mengantar surat ketiga ke sini. Apa kamu tidak tahu kalau waktu ku terbuang gara-gara surat itu? Aku harus membantu ibuku, tahu! Orang tuaku tidak kaya. Karena itu, ibuku harus berjualan agar aku bisa sekolah. Tak seperti kamu. Kamu masih sanggup cari sekolah lain kalau kamu dikeluarkan dari sekolah kita. Orang tuamu, kan, kaya. Bisa membayar berapa saja untuk membayar sekolahmu!” tanpa Iin sadari ia sudah menangis tersedu-sedu.

Reza terpaku mendengarnya. Dia tidak mengerti mengapa Iin bersikap seperti itu. Dia lebih tidak mengerti lagi ketika Iin tiba-tiba lari meninggalkan rumahnya. Hatinya jadi tidak enak.

Semalaman dia tidak tidur. Bayangan Iin yang menangis sesudah berteriak-teriak tadi terus mengganggunya.

Iin juga tidak bisa tidur semalaman. Dia menyesal karena telah melampar surat itu ke kaki Reza. Seharusnya ia menyerahkan surat itu langsung kepada orang tua Reza. Bukan membiarkan Reza merobek-robeknya. Apa yang harus dikatakannya nanti kepada Bu Guru, bila beliau menanyakan surat itu? Ah….

Iin jadi enggan ke sekolah. Pagi ini dia sengaja bangun berlambat-lambar.

“Sudah siang, In. biar Ibu saja yang mengatur pisang itu. Kau berpakaianlah,” kata Ibunya yang sedang menggoreng pisang.

Iin menggeleng lemah, “Saya tidak sekolah, Bu,” sahutnya dengan suara setengah berbisik.

“Tidak sekolah?” dahi Ibunya berkerut. “Kenapa? Ada rapat guru lagi?”

Iin menggeleng, pipinya memanas. Tidak enak rasanya mengatakan hal yang sebenarnya pada ibunya.

Selama ini ibunya telah berusaha keras agar dia dan adik-adiknya bisa bersekolah dengan baik. Penghasilan ayahnya sebagai pegawai kecil tentu tidak mencukupi. Itu sebabnya ibunya menitipkan pisang goreng dan kue-kue di warung-warung yang ada di sekitar rumah mereka. ibunya juga menjual keripik singkong dan kacang bawang.

Karena itu, Iin hampir tidak punya waktu untuk bermain. Ia harus membantu ibunya mengiris singkong dan mengupas kacang. Sebelum berangkat sekolah dia menitipkan jualan ibunya dulu di warung. Itu pula yang membuat dia selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan Reza.

“Mbak Iin dijemput temannya,” lapor adiknya.

“Siapa?” tanya Iin heran. Tidak biasanya temannya menjemput untuk berangkat bersama ke sekolah.

“Wah kau belum siap? Sudah pukul setengah 7, nih,” Sebuah suara di belakangnya mengejutkan Iin. Iin menoleh dan… termangu.

Reza telah siap dengan seragam dan tasnya.

“Maafkan sikapku kemarin, In. setelah kupikir-pikir, aku memang salah. Kupikir orang tuaku tidak akan tahu karena mereka sedang berada di luar kota. Aku tidak sadar kalau perbuatanku itu telah menyusahkan kamu,” kata Reza malu-malu.

Mendengar pengakuan Reza, Iin tersenyum senang. Kini dia bisa sekolah dengan tenang tanpa harus memikirkan soal surat kemarin.

“Syukurlah kalau kau akhirnya mau sekolah,” katanya lega.

“Itu sebabnya aku ke sini menjemputmu,” sahut Reza.

“Menjemputku? Bisanya kau diantar mobil,” Iin heran.

“Mulai hari ini aku akan jalan kaki bersamamu. Masih sibuk, ya?” Reza berjongkok di dekat Iin yang masih mengatur piring di atas nampan. “Sini kubantu. Kau berpakaian saja.”

Reza ikut mengatur pisang goreng itu meskipun Iin dan ibunya berulang kali melarang. Akhirnya mereka membiarkan saja karena Reza nampak senang melakukannya.

“Di rumah, aku tidak punya teman. Tidak punya kesibukan. Aku janji akan sering datang ke sini untuk membantumu. Tapi kau juga harus janji padaku,” kata Reza.

“Janji apa?”

“Janji akan membantuku mengejar ketertinggalan selama aku bolos. Mau, kan?” pinta Reza.

Iin mengangguk. Diam-diam dia merasa bahagia karena kini Reza telah berubah. Semoga Reza dapat menjadi anak yang begruna di kemudian hari.