Bola Voli Seta

"Smash!"

Dio dan timnya makin bersemangat mengalahkan lawan. Dio men-smash bola, lawan tidak siap menerima bola Dio, hingga bola jatuh ke daerah lawan. Penonton bersorak ketika tim Dio dinyatakan menang.

Namun Seta kesal melihat itu semua. Ia membayangkan dirinyalah yang men-smash bola itu. Ini semua gara-gara Kak Tia, desahnya.

Pertandingan telah usai. Para pemain yang dulunya adalah tim Seta, berkerumun di bawah pohon. Mereka menceritakan pengalaman mereka ketika bertanding. Seta mendengarkan dengan hati sedih.

Ia menyesal mengapa Allah menakdirkannya menjadi orang cacat. Dan sedihnya lagi, ia tidak bisa bercerita seperti mereka.

Seta pulang dengan langkah gontai. Andai saja dia tahu akan terjadi kecelakaan waktu itu, pasti dia akan menolak ajakan Kak Tia melihat sirkus. Kecelakaan itu membuat kakinya harus diamputasi sampai lutut.

Sejak itu, bola voli hanya menjadi kenangan bagi Seta. Tak ada lagi sorak-sorai meneriakkan namanya ketika mencetak skor. Seta merasa menjadi anak yang tak berguna. Tidak bisa bermain dengan teman-temannya, tak bisa berlari dengan gesit. Kini hidupnya bergantung pada kruk penyangga kakinya.

"Ada apa, Seta? Kok cemberut?" Kak Tia menyambut kedatangan Serta serta mengurungkan niatnya masuk rumah. Ia memilih duduk di teras.

"Enggak, kok," jawab Seta dengan wajah kesal.

"Kamu pasti sedih karena tidak bisa bermain voli lagi."

Seta hanya terdiam, lalu tidak bisa membendung air matanya.

"Seta, maafkan Kak Tia ya? Tetapi Kak Tia yakin Seta bisa menjadi orang yang sukses meski pakai kruk. Ada banyak orang yang tidak sempurna bisa sukses. Kalaupun Seta tidak bisa bermain voli lagi, mungkin Seta bisa menjadi wasitnya," hibur Kak Tia.

Seta memandang Kak Tia. Dia semakin kesal melihat wajah kakaknya.

"Ini semua gara-gara Kakak!" jerit Seta.

Seta berdiri lalu masuk ke rumah.

***

Kini Seta lebih suka melihat pertandingan voli, tidak hanya dari lapangan tetapi juga di televisi. Ketika ia melihat wasit bola voli hanya berdiri di samping net sambil mengawasi jalannya pertandingan, terbesit dalam hati Seta untuk menjadi wasit juga.

Sejak itu, Seta mulai mengamati kerja wasit ketika pertandingan, membaca aturan permainan, dan lebih jeli melihat kapan bola jatuh ke daerah lawan dan menambah skor. Dia juga membaca informasi di internet, dan kadang Seta berbicara sendiri ketika melihat teman-temannya berlatih, seakan dia wasit yang andal.

Pada suatu ketika, Andi tidak masuk. Andi yang setiap hari menjadi wasit mendadak pindah ke luar kota. Teman-teman dalam tim kebingungan mencari wasit. Kelompok mereka sudah pas, dan menjadi wasit pun tidak semua orang bisa.

"Bagaimana ini?!" kata Nizar khawatir.

"Iya, kalau tidak ada wasit, kita tak bisa latihan..." ujar Fandi.

Anggota tim bola voli itu bingung, jadwal yang telah mereka rencanakan terancam batal, padahal seminggu lagi mereka akan bertanding.

"Aku bisa menggantikan Andi," kata Seta penuh percaya diri.

Teman-teman Seta menoleh ke arah Seta dengan tidak percaya.

"Mana mungkin kamu bisa?" tanya Dio.

"Wasit harus adil. Wasit juga harus paham aturan permainan seperti kapan bola dikatakan masuk, dan setiap pemain harus bermain sesuai tugasnya, seperti tasser yang tidak boleh men-smash bola," jelas Seta meyakinkan.

Teman-teman terhenyak mendengar penjelasan Seta. Akhirnya mereka menerima Seta menjadi wasit. Dio memberikan peluit kepada Seta dengan ragu.

Berkat bantuan Dio, Seta dapat naik ke panggung kecil di samping net. Ia mengawasi permainan teman-temannya dengan saksama.

Mereka menyukai Seta karena ia wasit yang adil. Seta merasa senang karena meski tidak bermain, ia bisa menjadi bagian dari permainan voli.

Sekarang Seta tak lagi menyesali kemalangannya. Bahkan ia sangat bersyukur, Kak Tia benar, meski tidak menjadi pemain, aku bisa menjadi wasitnya, batin Seta.