Jangan Lihat dari Belakang, Lihatlah dari Depan
Pada siang itu, Viktor dan Budi duduk di taman. Tak lama kemudian, seorang wanita dengan rambut panjang dan sepatu berhak tinggi melintas di depan mereka. Keduanya seketika memperhatikan wanita itu dan merasa tertarik untuk mengikutinya.
Dipenuhi rasa penasaran, Viktor dan Budi memutuskan untuk mengikuti langkah wanita tersebut. Mereka melacak perjalanannya hingga ia berhenti di sebuah kafe. Keduanya pun mengikutinya masuk ke dalam kafe, tetapi sayangnya tidak dapat menemukan wanita tersebut.
Mereka terus mencari hingga sampai ke lantai dua kafe, di mana akhirnya mereka menemukan wanita yang mereka ikuti. Namun, keduanya tidak berani untuk berbicara dengannya dan hanya bisa mendengarkan dari kejauhan. Setelah beberapa waktu, Viktor akhirnya mengumpulkan keberanian dan menyapanya dari belakang dengan sapaan “Hai.”
Wanita itu pun menoleh ke arah Viktor, yang kemudian kaget dan merasa malu setelah menyadari bahwa wanita yang mereka ikuti adalah seorang pria yang menyamar sebagai wanita.
Di suatu hari, Ali dan Indra duduk di pinggir lapangan selama istirahat sekolah. Mereka berdua adalah teman sekelas di kelas 12, dan mereka telah menyadari bahwa teman mereka, Andi, telah absen selama seminggu.
Kabar yang beredar adalah bahwa Andi sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Indra, yang juga tetangga Andi, sering ditanyai oleh teman-teman tentang kondisi Andi. Ali pun ikut bertanya kepada Indra tentang keadaan terbaru Andi.
“Ndra, bagaimana keadaan Andi? Apakah dia sudah pulang dari rumah sakit?” tanya Ali.
Indra menjawab dengan nada lemas, “Andi sudah meninggal, Li.”
Namun, suara di sekitar lapangan terlalu bising, dan Ali salah mendengar.
“Apa? Andi sudah meninggal, Ndra?” tanya Ali terkejut.
Indra menyadari bahwa Ali salah mendengar dan menjawab dengan suara yang lebih keras, “Sembarang kamu, Ali! Maksudku, Andi sudah sembuh, bukan meninggal.”
Ali tertawa setelah menyadari kesalahpahaman tersebut.
Si Gareng dan si Semar pergi ke pasar baru untuk membeli sepatu futsal. Si Gareng senang membeli sepatu dan juga senang membayarnya, termasuk sepatu untuk si Semar. Setelah berkeliling di sekitar pasar, mereka berhenti di sebuah toko yang menjual sepatu futsal yang mereka inginkan.
Mereka sepakat dengan penjual tentang harga, yaitu Rp300.000 untuk dua pasang sepatu. Namun, setelah membayar, mereka menyadari bahwa Gareng hanya membawa uang tunai sebesar Rp100 ribu. Gareng memutuskan untuk mengirim Semar ke ATM untuk mengambil uang tambahan. Gareng memberikan dompetnya kepada Semar.
Gareng: “Mar!”
Semar: “Ya, Reng, ada apa?”
Gareng: “Kamu pergi ke ATM dan ambil Rp200 ribu dari kartu ATMku. Kamu tahu caranya, kan?”
Semar: “Tentu saja, tidak perlu meremehkan saya. Saya tahu cara mengambil uang dari ATM.”
Gareng: “Baiklah, bawa dompet saya dan telepon saya jika ada masalah. Buruan pergi, saya tidak ingin terlihat seperti orang yang hanya pura-pura membeli tetapi tidak punya uang.”
Setelah menunggu selama 15 menit, Semar akhirnya menelepon Gareng.
Semar: “Reng, kita dalam masalah.”
Gareng: “Masalah apa?”
Semar: “Saya tidak bisa mengambil uang dari ATM. Kartu Anda ditolak oleh mesin ATM. Saya sudah bertanya kepada petugas keamanan, dan katanya kartu Anda tidak bisa digunakan, mesin ATM akan terus mengeluarkan kartu jika dimasukkan.”
Gareng: “Benarkah? Kartu baru saya seharusnya berfungsi. Itu aneh. Batal beli sepatunya saja dan coba hubungi bank mengenai masalah kartu ini besok.”
Semar: “Baiklah, Gareng. Saya akan berangkat dan memberitahu Anda jika ada perkembangan.”