Persahabatan yang Retak

Suasana pagi itu begitu teduh di kota kecil Bernadia. Di antara bangunan-bangunan bersejarah, terdapat dua sahabat, Mia dan Rina, yang dulu begitu erat. Mereka bersama-sama melangkah ke sekolah setiap pagi, tertawa bersama, dan saling berbagi cerita. Namun, seiring berjalannya waktu, tumbuhlah sebuah celah di antara mereka.

Semua bermula ketika Mia memutuskan untuk mengikuti klub seni rupa, sebuah passion yang telah lama terpendam di dalam dirinya. Rina, sebaliknya, lebih memilih untuk fokus pada klub musik, kecintaannya pada melodi dan nada membuatnya tenggelam dalam dunia musik yang indah. Seharusnya perbedaan ini menjadi kekuatan bagi persahabatan mereka, namun, nyatanya, itu malah menjadi sumber pertikaian.

Mia dan Rina jarang bertemu setelah terlibat dalam klub masing-masing. Jadwal yang padat dan hobi yang berbeda membuat mereka semakin menjauh. Pada awalnya, mereka mencoba memahami dan mendukung satu sama lain, namun seiring waktu, rasa cemburu dan ketidaksetujuan merayap perlahan.

Puncak ketidakakuran terjadi saat festival sekolah. Keduanya berpartisipasi dalam acara yang berbeda dan tanpa sengaja bertabrakan di koridor sekolah. Tatapan mereka bertemu, namun hanya dingin yang tersisa di matanya. Mia mencoba tersenyum, mencoba memulai pembicaraan, tetapi Rina menjawab dengan acuh tak acuh.

“Kenapa kamu begitu terobsesi dengan seni rupa? Musik jauh lebih menyentuh hati,” ujar Rina dengan nada sinis.

Mia merasa terluka. “Kita bisa memiliki minat yang berbeda tanpa harus merendahkan satu sama lain, Rina.”

Pertengkaran itu menciptakan jurang yang lebih besar di antara mereka. Selama beberapa minggu, Mia dan Rina berjalan di sekolah tanpa saling bicara. Teman-teman mereka yang lain merasa sedih melihat persahabatan yang dulu begitu erat kini hancur.

Hingga suatu hari, saat keduanya terjebak dalam satu proyek bersama. Awalnya, mereka merasa enggan bekerja bersama, namun seiring waktu, tarian kecil kerja sama dan kebersamaan mulai terjalin. Mia dan Rina mulai mengingat kenangan indah mereka, masa-masa saat mereka tertawa bersama dan menjadi dukungan satu sama lain.

Lama kelamaan, tembok yang memisahkan mereka mulai runtuh. Mereka menyadari bahwa perbedaan tidak selalu harus menjadi sumber konflik. Malah, perbedaan itulah yang membuat persahabatan mereka menjadi lebih berwarna.

“Maafkan aku, Mia,” ucap Rina dengan suara lembut setelah proyek selesai. “Aku terlalu egois.”

Mia tersenyum, “Maafkan juga aku, Rina. Persahabatan kita lebih berharga daripada perbedaan hobi kita.”

Dari situlah, Mia dan Rina belajar bahwa persahabatan tidak selalu harus seragam. Perbedaan adalah bagian dari keindahan persahabatan, dan yang terpenting adalah saling menghormati dan menerima satu sama lain apa adanya. Mereka memutuskan untuk membangun kembali hubungan mereka, dan dari situlah persahabatan mereka menjadi lebih kuat dan matang.