Melodi di Bawah Pohon Beringin

Jingga, gadis berkepang jagung warna matahari, selalu menemukan kedamaian di bawah pohon beringin tua di sudut sekolah. Di sana, hembusan angin senja membawa bisikan dedaunan, seolah bernyanyi lagu rahasia. Dan Senja, dengan rambutnya semerah senja di ufuk barat, selalu menemani Jingga dalam ritual pencarian melodi alam itu.

Mereka berbeda, bagai malam dan siang. Jingga ceria, mudah tertawa, melantunkan mimpi-mimpi besar tentang menjadi musisi. Senja pendiam, matanya menyimpan kedalaman, dan jari-jari lentiknya menari di kanvas, melukiskan dunia yang tak banyak tersentuh kata. Tapi di bawah pohon beringin, perbedaan mereka menyatu, membentuk harmoni unik.

Suatu sore, awan gelap berarak kencang, mengusir senja dan menjatuhkan hujan. Senja diam seribu bahasa, kanvasnya tergeletak terlantar. Jingga mengerti. Senja tertekan untuk pameran besok, dan hujan tak kunjung reda. Jingga pun beraksi. Ia menarik Senja ke panggung mini depan kelas, tempat biola tua teronggok, peninggalan almarhum kakeknya.

Dengan nada gemetar, Jingga memainkan biola. Suara yang keluar tak sempurna, tapi di setiap tarikan senar, tertuang semangat dan dukungan untuk Senja. Senja tersentuh. Ia memejamkan mata, membiarkan melodi Jingga berpadu dengan gemericik hujan. Tangannya kembali bergerak, tak lagi di kanvas, melainkan di udara, memvisualisasikan warna dan bentuk yang dibisikkan biola.

Keesokan harinya, pameran Senja dipenuhi pengunjung. Lukisan-lukisannya meledak dengan warna, menceritakan melodi hujan dan biola, serta persahabatan dua gadis di bawah pohon beringin. Senja tersenyum, bukan hanya karena pujian, tapi karena Jingga telah membantunya menemukan musik dalam hujan, syair dalam keheningan.

Jingga dan Senja, bagai jingga dan senja, tak bisa dipisahkan. Mereka membuktikan bahwa persahabatan tak butuh kesamaan, melainkan saling mengisi, menjadi melodi yang lengkap walau dimainkan pada senar dan warna yang berbeda. Dan di bawah pohon beringin, lagu persahabatan mereka akan terus mengalun, selamanya.