Perjalanan Menuju Puncak Gunung Tertinggi di Tanah Jawa

Hari itu adalah hari yang semula terasa panjang untuk aku bersama sahabatku, yaitu Ferdi, Nazar, dan Vela. Kami memutuskan untuk naik ke puncak Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur sebagai perayaan kami lulus dari sekolah.

Kami sedang berada di pos Ranu Pane untuk mengecek kembali keperluan untuk memastikan apakah sudah lengkap atau tidak. Sebelum melakukan pendakian, Ferdi memberikan informasi mengenai aturan-aturan yang harus dijalankan seperti jangan buang sampah sembarangan, menjaga kebersihan, dan jangan berkata yang tidak baik. Kemudian Ferdi mulai memimpin doa.

“Sebelum mendaki agar kita diberi kelancaran mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing berdoa dimulai,” katanya. Semuanya khusyuk dalam memanjatkan doa agar diberi keselamatan.

Setelah selesai kami pun berjalan beriringan. Langkah demi langkah kami menyusuri pos demi pos ketika di pos 3, Ferdi memberi perintah agar kami untuk beristirahat sebentar sebelum melanjutkan ke Ranu Kumbolo.

“Kita istirahat di sini,” ucap Ferdi.

“Akhirnya istirahat juga,” ucap Vela sambil menghela nafas lega.

“Ferdi, kira-kira masih jauh menuju Ranu Kumbolo? “ aku bertanya kepada Ferdi.

“Lumayanlah,” jawabnya.

Kami semua berisitirahat duduk santai dan sesekali meminum persediaan air yang kami bawa.

“Yuk lanjut yuk,” ucap Nazar.

“Bentar lagi dong Nazar,” ucap Vela dengan nada sebal.

“Iya nih bentar lagi ya,” ucapku.

Nazar pun duduk lagi dan jika dilihat ekspresinya dia sepertinya kesal. Tak butuh waktu lama setelah istirahat 15 menit kami melanjutkan pendakian atas instruksi Ferdi kebetulan juga dia orang yang sudah berpengalaman dalam mendaki gunung.

Setelah beberapa menit berjalan akhirnya sampai juga di Ranu Kumbolo. Jujur aku takjub dan terpesona melihat keindahan tempat itu. Terik matahari yang terasa membakar kulit  tak mengurangi pesona Ranu Kumbolo.

“Ferdi kita istirahat lagi disini kan?” tanya Nazar.

“Iya istirahat,” ucapnya.

“Akhirnya,” ucap aku, Vela, dan Nazar

Senyum seketika terbit di wajahku. Rasanya kagum dengan ciptaan Yang Maha Kuasa dengan segala keindahannya. Tak lupa kami mengabadikan momen ketika berada di tempat tersebut, namun sayangnya perjalanan kami harus dilanjutkan karena kami harus sampai di pos terakhir mendekati malam.

“Yuk jalan lagi,”

Dengan berat hati aku meninggalkan tempat ini namun aku juga tak sabar ingin mencapai puncak Gunung Semeru. Kami berjalan dan melewati bukit terjal yang dinamakan “Tanjakan Cinta”. Selama di perjalanan kami semua diam dan fokus untuk berjalan yang aku dengar hanya suara embusan angin.

Setelah lama berjalan kami sampai di pos Cemoro kandang dan beristirahat lagi sejenak dan tak terasa waktu pun sudah mulai gelap. Kami bersiap-siap untuk menggunakan peralatan yang dibutuhkan seperti memasang senter ikat kepala, menggunakan jaket tebal, dan keperluan yang lain. Kami lalu berjalan lagi menuju pos terakhir yaitu Kali mati. Rasanya perjalanan terasa sangat lama menuju pos yang terakhir ini.

“ADUH KENAPA INI ENGGAK SAMPAI-SAMPAI,” TANYA NAZAR.

“ Ferdi apakah masih lama?” tanya Nazar.

“Lumayan,” jawab dia.

“Lumayan bagaimana kita sudah beberapa menit berjalan ,” kata Vela.

“Ya sudah kalo mau istirahat, tapi hanya 15 menit ya,” ujar Ferdi.

Kami memberi jempol sebagai pertanda setuju. 15 menit berlalu, kami melanjutkan ke pos Kalimati.

“Ayo bentar lagi sampai,” ucap Ferdi memberikan semangat kepada kami. Dan akhirnya sampai di Kalimati

“Ye akhirnya,” ujar Nazar sambil merilekskan badannya.

“Kakiku sakit tahu,” kataku dan Vela dengan nada kesal.

Ferdi yang melihat kami hanya bisa menggelengkan kepala dan menunggu kami bertiga untuk beristirahat. Setelah dirasa cukup Ferdi memberikan perintah untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak.

Perjalanan yang dibutuhkan sangat lama untuk menuju puncak, tapi kami semua tetap bersemangat untuk mencapai puncak dengan alasan untuk perayaan kelulusan kami. Kami berjalan terus dengan penuh keyakinan.

Ketika tiba di trek pasir kasar, kami harus bersiap karena ketika melangkah akan terasa merosot.

“Aduh kenapa ini enggak sampai-sampai,” tanya Nazar.

“Sabar kita pasti bisa,” kata Ferdi dengan suara lantang.

“Aku capek ,” tutur Vela dengan mata memerah seperti akan menangis

“Ayo Vela, kita bisa ya,” kataku pelan, berusaha meyakinkan Vela dan akhirnya dia mengangguk setuju. Di kegelapan malam kami terus berjalan menuju puncak dan ketika di tengah-tengah perjalanan yang menguras tenaga terlihat cahaya kuning kemerahan muncul diarah timur.

“Teman-teman lihat itu!” seru Nazar sambil menunjuk tangan ke arah timur.

Seketika kami menoleh ke arah timur dan takjub mengenai kejadian yang dilihat.

“Matahari terbit” kata Vela

“Ayo semangat sebentar lagi sampai,”

Kami berjalan lagi dengan penuh semangat yang membara. Dan akhirnya sampai di puncak. Tangisan kami semua pecah, aku dan Vela berpelukan. Nazar yang selama ini aku lihat dia selalu kuat sekarang dia menangis dengan tersedu-sedu.

“Kita berhasil,” ujar Ferdi.

“Iya,” ucapku dengan suara serak.

“Oh iya aku bawa bendera merah putih,” ajak Ferdi dan mengibarkan bendera merah putih dengan tongkat kayu. Melihat Sang Saka Merah Putih berkibar di puncak tertinggi membuat bulu kuduk merinding dan kami menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Gunung Semeru mengajarkan kami pentingnya sebuah usaha yang harus dinikmati prosesnya disertai kesabaran. Setiap langkah yang dijalani tak akan membuat sia-sia surat manis dari Gunung Semeru yang akan selalu diingat.

Tatang Ruhiyat