Sewaktu Nona Membaca Surat

Tujuh belas menit lalu, Nona.

Kau raih surat bak mantra ajaib yang kau simpan bersama debu dan deru hanya dalam rangka mengingat dirimu.

Tujuh belas menit lalu, Nona. Tak ada Shin-Chan juga Winnie the Pooh. Risau telah menjadi karib.

Makanan terasa hambar, rambut rontok dan tangan gemetar. Tak kau dapati lagi merdu gitar dari balik bantal tidurmu.

Waktu menjelma dimensi cahaya. Dari jendela kereta, Tuhan gambarkan padamu panggung manusia yang sejajar dengan bola mata bahwa kau tak lagi belia. Penampakan menanti pulang dan pergi lebih sering terpajang di peron imaji.

Tujuh belas menit lalu, Nona. Tak kau sangka bahwa rasa sedih telah merajut kecantikan. Mimpi-mimpi lugu kian layu.

Sewaktu Nona membaca surat,

Kau dapati dewasa mengemban asa, cemas makin terasa panas.

Sewaktu Nona membaca surat, tak ada lagi Tinkerbell. Serdadu kecil lebih sering berperang di bawah bantal, meludah dari langit kamar akibat kalah dan mimpi untuk hidup kian lapar dan sangar.

Pada surat yang direpetisi, air mata dan rasa sakit lagi lagi hanya bisa membenam di kertas.

Kau tersesat di halaman tanpa angka, tanpa rute dengan judul yang tak terbaca.

By

 Ashila Fajwah