Labirin
Sankha masih ingat kapan terakhir penutup percakapan di hari itu.
April.
Rekaman suara yang Sankha selalu putar ulang-ulang nyatanya jadi penghantar tidur paling mujarab kala pikiran sedang tak keruan tentang hidup dewasa ini.
“Pokoknya saya akan doain kau juga di setiap doa saya,” secarik kalimat pendek Arsa dalam rekaman suara itu.
Benarkah? Memang masih ada manusia di semesta ini yang secara tulus hati berdoa untuk orang yang bahkan tidak tahu seperti apa bentuknya. Bagaimana rupanya, bagaimana suaranya, bagaimana tingkahnya, bagaimana perilakunya, bagaimana caranya berpikir, dan bagaimana lainnya.
Kalau itu saya? Belum tentu.
Mungkin itu cuma sekadar kalimat untuk menyenangkan hati si pengirim surat? Itu menjadi salah satu praduga manusia lain yang mendengar cerita Sankha dan Arsa.
Cuma Arsa yang tahu.
“Andaikan saya tahu kau juga,” rekaman lanjutan Arsa.
Salah besar. Nyatanya itu semua hanya menggelikan diri saja. Mengaku dan akhirnya menjadi asing kembali. Setidaknya bisa katakan sesuatu. Kesimpulannya mungkin. Bukan kelegaan, Arsa. Tanda tanya dan tanda tanya lain yang menjerumuskan Sankha dalam labirin hingga saat ini.
Manusia lain ada yang mati-matian berebut memiliki Sankha. Entah sudah berapa banyak manusia yang Sankha patahkan. Keadaan berbalik kala Sankha berhadapan dengan Arsa. Sankha yang harus berlari. Apakah harus sampai patah juga? Dan sekarang untuk mengangkat kepala saja Sankha sudah tak bernyali.
Sudah jelas sekali sebenarnya bukan Sankha yang Arsa mau. Sudah hilang, tetapi kenapa dengan tak sengaja nama Arsa lagi dan lagi keluar lagi. Di malam-malam Sankha dalam genggam tangan.
Kabar keduanya hilang dari peradaban. Sisi Sankha pamit undur diri takut mengusik sisi sebelah sana. Hadirnya memang sudah tak ada, tetapi nama Arsa abadi dalam setiap seret pena Sankha. Rasa ini biar jadi urusan Sankha saja dalam labirin ini.
Satu lagi. Kalau suatu saat Arsa menemukan tulisan yang Sankha titipkan,
ini pesan untukmu.
Bisa ‘kah kita sekadar duduk dan bertukar cerita?