Kaleidoskop: Sebuah Dialektika Kontemplasi Natalis

Sudah banyak yang kehilangan, tetapi aku sudah kehilangan banyak.
Kehilangan kumpulan sosial terkecil.
Kehilangan siang bahagia, kehilangan malam penuh tawa.
Panjang, Ode yang telah aku susuri.
Bergumul bersama masyarakat desa di Magelang.
Nyawiji bersama teman satu juang.
Bernyanyi dalam senandung yang telah aku tulis sendiri.
Lalu semua hari hilang ditelan pandemi.
Corona, COVID-19 yang memeluk bumi sendiri.
Terpenjara umat manusia di dalam rumah, di bilik kamarnya sendiri.
Semua bicara terhenti.
Tetapi aku berani. Pulang ke kota mengambil sebuah putusan.
Bekerja untuk menghidupi diri sendiri, dalam ekonomi yang karut marut.
Belajar memahami Masa depan…

Menyusun lembaran kertas bernama skripsi.
Sepanjang pagi dan malam, dalam warung kopi berirama penuh WiFi.
Tiba-tiba diganjar selesai.
Dibayar lunas dengan wisuda bernada jaringan.
Menjadi sarjana ditengah banyak duka yang hinggap, yang dianggap ringan.

Belajar masih sepanjang hayat.
Mengajar, aku memulai riwayat.
Memilih sekolah spesial sebagai pijakan awal yang kuat.
Kemudian aku terperanjat.
Melihat langit di atas beserta gunung.
Ternyata disana duka merundung
Pendidikan tidak memeluk tenda pengungsian.
Waspada karena gunung mulai berguncangan
Melihat anak bermain berlarian
Dan relawan yang terus melawan keadaan.

Hari ini, angka menujuk 24
Di jarum jam dan di umur kehidupanku
Banyak yang telah aku syukuri.
Orion yang dibentangkan di sebelah Merkuri.
Kita telah hidup dihujam duri.
Sembari memantaskan diri.
Dan mementaskan hidup untuk berdikari.

Memang waktu sudah ditelan.
Kita yang bernafas pelan.
Dalam jerat jingga yang berjelaga dalam rapalan.
Membuka kunci semesta.
Dan menuju hari dalam satu kata.
Kita adalah seseorang yang menunggu di stasiun, di terminal, di bandara.
Menunggu satu kereta.
Menunggu satu bus.
Menunggu satu pesawat.
Dan memberi titik pada tujuan yang pasti.
Dalam aral yang tak pasti.
Tak menentu!

Belajar memahami masa depan.
Mencoba menjadi bahagiamu sendiri.
Atau paling tidak menjadi bahagia semua orang.

Melahirkan semua nada indah
Dalam partitur surealis tak berdefinisi!


Arif Bagas Adi Satria