Juni
Semenjak pagi aku menanti,
langit sendu, mentaripun sembunyi malu,
aku menunggu di teras gelisah,
sambil meratapi burung-burung mungil yang tak kunjung basah,
sebab tiada yang lebih bijak, dari hujan di bulan Juni, kata Eyang.
Ku ulurkan jemariku, lantas ku gapai rintik yang tertahan,
ku menengadah, namun tak jua basah, hanya air mata,
tiada yang lebih istimewa, dari hujan di bulan Juni, kata Eyang.
Aku pernah tertunduk dalam penantian yang sama,
bersimpuh menanti rintik, bersama jemari yang ku kepal,
di bawah gereja tua, hujan pernah bercanda,
kita berteduh pada hujan yang tiba-tiba mengering.
Namun raut gelisah di matamu masih terpancar, dan akupun turut gelisah,
dadaku bergolak bagaikan gemuruh yang melandai ke daratan,
kemudian kita saling bercanda, memandang raut jalan yang penuh akan genangan,
sampai aku lupa, kepalan tanganmu, wajahmu, indahmu, kini hanya kenangan.
Aku hanya bisa menanti ia datang, hujan di bulan Juni,
biar aku bisa merayakan euforia itu,
menikmati indahnya masuk kedalam memori lama, sembari memandang hujan yang terpuruk,
meski jauh jarak menyekat, aku merindu,
meski tanganmu tak lagi dapat ku kepal, aku menantimu.
Walau ragamu tak hadir, aku akan tetap menyambut rintik untuk tiba,
sekalipun aku terluka, memandangmu jauh disana,
dalam kepalan yang sama, tatapan yang sama, rona yang sama, bersama pria lain.
Dan aku? Terdiam terpaku, membasahi tubuh dengan hujan di bulan Juni,
meski di dalamnya tertebas pelik,
namun aku tabah.
Blitar, 1 Juni 2020
Rizky Saputra
Juni #2
Hari kedua bulan Juni, hujan benar-benar datang,
membawa seikat kabar di jemari basahnya,
tiba padaku dengan gagah, seperti daun-daun yang ditebas mati,
kering dan jatuh, tua dan terpuruk,
mengangkasa tanpa raga, meski harap yang terpintal tiada.
Hari kedua bulan Juni, hujan yang arif benar-benar datang,
digoreskannya luka itu, ia sayat hingga dalam,
akar-akar terlanjur kering, bumi enggan menopang,
dibukanya seikat kabar tadi, lalu hujan semakin menggila,
dipetiknya alunan puisi, dan hujan semakin menggila,
hadir yang tanpa kata, dingin dan selalu memelas damba, semakin menggila.
Hujan di hari kedua bulan Juni,
ku jelajahi isi pesan Tuhan, sembari ku kecup pita merah di atasnya,
kini air mataku seirama, dengan hujan yang semakin menggila,
dicekiknya sebuah harapan, dan dihancurkannya berkeping sisa,
sayangnya aku tak setegar mahoni, tak jua sewangi cendana,
lelaki yang menyambut tua ini, meratapi keniscayaan,
seperti hujan yang semakin menggila, dan patah di atap-atap rumah,
biarkanlah menggenang, biarkanlah berdamai dengan bumi,
cukup,
aku tak perlu isyarat, untuk menanti hujan di kemudian hari.