Envoi

Sepetik harapan berselimut malam.

Matikan lampu kakek Edison Tua.

Mari bermimpi masuk ke pasar malam utopia tanpa izin.

 

Lupakan ikatanmu hari ini.

Peluklah raga yang dibalut kasih.

Sejenak, kita beradu pseudologika.

Mengadu kasih dalam realitas alternatif nirbatas.

Aturlah organon dalam aforisme berenjambemen.

Sejenak kita adalah makhluk alazon yang menikmati keharaman Beaujolais Noveau.

 

Mari bersama membuat aide memoire kehidupan kita.

Menghitung berapa banyak akar khayal acakan berangka deuce di hidup berdua.

Terkadang terbingung antara mau dan mahwu.

Terkadang aku hanya manusia yang penuh pujuk empenak.

 

Andai aku dapat hidup sebebas rambak China.

Seorang manusia yang teracik dari rancaman berbagai dzat dan penuh agonis.

 

Semoga, kita bersua memandang ular minum di ujung zamin dunia kita.

Ketika dalam seranata romansa jingga, membelai surai hitam di mustakamu.

 

Ambil beluam hatimu, isilah dengan tresnaku.

Mari lewati hari yang penuh anca.

 

Terkadang aku samar dalam agnosia untuk membedakan apakah realitas bahagia dan distopia.

Lidah yang kelu penuh drama agramatisme.

Jazab aku dalam jurang cinta tak berpangkal.

 

Diamlah aku berakhir bombas.

Apakah aku harus menata matra masnawi demi mendapatkan tubuhmu?

 

Dalam aposteriori, aku tak ingin an sich pada satu kata.

Biarlah kasih bersabung di dalam hati, sampai menembus bentuk yang melambung pukat.

 

Kuingatkan padamu, Dinda.

Jangan berulat mata melihat.

Nikmatilah waktu berlayar ke pulau kapuk.

Biarlah kita hidup bergelanggang di mata orang banyak. Kita yang selalu bagai puyuh laga, yang saling bertukar sepah.

Di bibir mata, aku melepasmu dengan penuh rasa. Sama seperti awal.

Saat kembali menjadi sesuatu yang tak bernama.

Aku masih berdiri dalam pijakan yang sama.

 

Ketika kerinduan hanya bisa bertahan hanya di kamar saja dan aku hanya menantimu di balik pintu kayu yang tertutup.

Aku hanya bisa menduga-duga di balik lubang kunci kecil dan dan aku tertegun terdiam tanpa suara dibalik bilik yang bertahun-tahun tanpa cahaya.

Lantas apakah aku bisa bahagia saat ini?Sepetik harapan berselimut malam.

Matikan lampu kakek Edison Tua.

Mari bermimpi masuk ke pasar malam utopia tanpa izin.

 

Lupakan ikatanmu hari ini.

Peluklah raga yang dibalut kasih.

Sejenak, kita beradu pseudologika.

Mengadu kasih dalam realitas alternatif nirbatas.

Aturlah organon dalam aforisme berenjambemen.

Sejenak kita adalah makhluk alazon yang menikmati keharaman Beaujolais Noveau.

 

Mari bersama membuat aide memoire kehidupan kita.

Menghitung berapa banyak akar khayal acakan berangka deuce di hidup berdua.

Terkadang terbingung antara mau dan mahwu.

Terkadang aku hanya manusia yang penuh pujuk empenak.

 

Andai aku dapat hidup sebebas rambak China.

Seorang manusia yang teracik dari rancaman berbagai dzat dan penuh agonis.

 

Semoga, kita bersua memandang ular minum di ujung zamin dunia kita.

Ketika dalam seranata romansa jingga, membelai surai hitam di mustakamu.

 

Ambil beluam hatimu, isilah dengan tresnaku.

Mari lewati hari yang penuh anca.

 

Terkadang aku samar dalam agnosia untuk membedakan apakah realitas bahagia dan distopia.

Lidah yang kelu penuh drama agramatisme.

Jazab aku dalam jurang cinta tak berpangkal.

 

Diamlah aku berakhir bombas.

Apakah aku harus menata matra masnawi demi mendapatkan tubuhmu?

 

Dalam aposteriori, aku tak ingin an sich pada satu kata.

Biarlah kasih bersabung di dalam hati, sampai menembus bentuk yang melambung pukat.

 

Kuingatkan padamu, Dinda.

Jangan berulat mata melihat.

Nikmatilah waktu berlayar ke pulau kapuk.

Biarlah kita hidup bergelanggang di mata orang banyak. Kita yang selalu bagai puyuh laga, yang saling bertukar sepah.

Di bibir mata, aku melepasmu dengan penuh rasa. Sama seperti awal.

Saat kembali menjadi sesuatu yang tak bernama.

Aku masih berdiri dalam pijakan yang sama.

 

Ketika kerinduan hanya bisa bertahan hanya di kamar saja dan aku hanya menantimu di balik pintu kayu yang tertutup.

Aku hanya bisa menduga-duga di balik lubang kunci kecil dan dan aku tertegun terdiam tanpa suara dibalik bilik yang bertahun-tahun tanpa cahaya.

Lantas apakah aku bisa bahagia saat ini?

Arif Bagas Adi Satria